Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sebagai nabi terakhir yang diutus kepada manusia mempunyai dua tugas penting,
yaitu sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman didalam
Al-Quran :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-
Ahzab; 33 : 21)
Sehingga segala tindakan, sikap dan perbuatan
beliau harus dijadikan contoh untuk kita teladani. Dan bagi umat muslim merujuk
kepada tindakan dan perkataan (hadits) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah suatu kewajiban.
Dalam kehidupan kesehariannya, tidak sedikit
beliau mengajarkan dan menunjukan tata cara pengobatan atau penyembuhan orang
yang sedang sakit.
Beliau bersabda :
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia
turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Bukhari no. 5678)
Sehingga sampailah kepada manusia bahwa segala
penyakit yang muncul di dunia ini tidak lah Allah telah memberikan solusi atau
obat untuk menyembuhkannya.
Dalam kisah hadits berikut ini kita bisa lihat
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menunjukan dan mengajarkan
kepada kita salah satu metode pengobatan yang disunnahkan :
“Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari
aku menderita sakit, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjengukku,
beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku
merasakan sejuknya tangan beliau.
Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau
menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif,
karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib.
Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah]
mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuh beserta biji-bijinya,
kemudian meminumkanmu dengannya.” [HR. Abu Dawud no. 2072]
Dari uraian kisah hadits diatas, diketahui bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukan kepada kita racikan obat
untuk menyembuhkan penyakit jantung. Tetapi karena beliau tidak diutus menjadi
ahli pengobatan, maka beliau hanya tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum.
Dan Rasulullah pun tidak meraciknya sendiri,
tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin
Kalidah sebagai seorang tabib ahli yang lebih mengetahui detail komposisi, cara
meracik, kombinasi dan indikasinya.
Bentuk pengobatan atau penyembuhan yang
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diatas, dikenal
dengan istilah Thibbun Nabawi.
Pengertian Pengobatan Thibbun Nabawi
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak dikenal istilah Thibbun Nabawi, baru sekitar abad ke-13 M para
dokter muslim menyebut pengobatan medis ala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam ini dengan istilah Thibbun Nabawi.
Thibbun Nabawi dianggap sebagai rujukan ilmu-ilmu
kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sehingga terjaga dari kesyirikan, takhayul dan khurafat.
Terdapat beberapa pengertian mengenai Thibbun
Nabawi yang telah didefinisikan oleh ulama di antaranya : [1]
- Segala
sesuatu yang disebutkan oleh Al-Quran dan Al-Hadits yang shahih yang
berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau
pengobatan
- Petunjuk
Rasulullah dalam kedokteran yang dia berobat dengannya atau untuk
mengobati orang lain
- Metode
pengobatan Rasulullah yang dia ucapkan, dia tetapkan (akui), dia amalkan,
merupakan pengobatan yang pasti (bukan sangkaan), bisa mengobati penyakit
jasad, ruh dan indera.
Sehingga dari ketiga penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa :
“Thibbun Nabawi adalah segala sesuatu
yang disebutkan oleh Al-Quran dan Al-Hadits yang shahih yang berkaitan dengan
kedokteran baik berupa pencegahan atau pengobatan (penyakit jasad, ruh dan
indera) yang diucapkan, ditetapkan (akui) secara pasti (bukan sangkaan) dan
diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik untuk mengobati
dirinya sendiri atau orang lain.”
Pada umumnya, pengetahuan masyarakat terhadap
Thibbun Nabawi atau pengobatan ala Rasul ini sangat rendah, bahkan seringkali
dijadikan pengobatan alternatif.
Beralihnya masyarakat kepada Thibbun Nabawi lebih
karena keputus-asaan penderita sakit yang tidak kunjung memperoleh kesembuhan
saat berobat secara konvensional dan juga ada alasan yang bersangkutan dengan
kondisi finansialnya.
Sehingga kemungkinan besar jika yang bersangkutan
memiliki dana yang cukup, maka akan lebih cenderung untuk kembali lagi kepada
pengobatan konvensional.
Walaupun tidak sedikit pula masyarakat yang
menggunakan Thibbun Nabawi ini sebagai pengobatan utama, dengan berbagai alasan
tentunya.
Kunci Pengobatan Thibbun Nabawi
Pengobatan Thibbun Nabawi
tidak cukup hanya dengan melakukan metode pengobatan (bekam, ruqiyah, dsb) atau
dengan mengkonsumsi obat-obatan yang disunnahkan (madu, habbatus sauda, kurma,
dsb).
Tetapi ada prinsip dasar yang harus dimiliki pada
saat melakukan pengobatan ini. Berikut adalah kunci dalam pengobatan Thibbun
Nabawi agar mendapatkan hasil (kesembuhan) yang maksimal, yaitu :
- Tawakal
dan yakin dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala semua penyakit bisa
disembuhkan
- Istiqomah
dalam pengobatannya
- Diagnosa,
ramuan (pemilihan obat) dan dosis yang tepat
- Hindari
berbagai pantangan yang dapat menghambat kerja obat
Tawakal, yakin dan istiqomah
Keyakinan untuk diberi kesembuhan atas izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah kunci pertama dan yang paling utama. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu
mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR.
Muslim no. 5705)
Ada dua hal yang digaris bawahi dari hadits
diatas, yaitu semua penyakit ada obatnya dan dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Pengobatan Thibbun Nabawi bersumber dari wahyu,
maka pengobatan ala Rasul ini bersifat pasti, bernuansa ilahiah, alamiah,
ilmiah serta berasal dari kesempurnaan akal melalui proses berfikir. [2]
Ada pula kisah hadits mengenai pengobatan Thibbun
Nabawi, yang dengan keyakinan kesembuhan atas kuasa dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala suatu penyakit dapat disembuhkan.
Dari sahabat Abu Sa‘id Al-Khudri radhiallahu
‘anhu berkisah :
“Sejumlah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam pergi dalam sebuah safar (perjalanan) yang mereka tempuh, hingga
mereka singgah di sebuah kampung Arab.
Mereka kemudian meminta penduduk kampung tersebut
agar menjamu mereka, namun penduduk kampung itu menolak. Tak lama setelah itu,
kepala suku dari kampung tersebut tersengat binatang berbisa.
Penduduknya pun mengupayakan segala cara
pengobatan, namun tidak sedikit pun yang memberikan manfaat untuk kesembuhan
pemimpin mereka.
Sebagian mereka berkata kepada yang lain:
“Seandainya kalian mendatangi rombongan yang tadi singgah di tempat kalian,
mungkin saja ada di antara mereka punya obat (yang bisa menghilangkan sakit
yang diderita pemimpin kita).”
Penduduk kampung itu pun mendatangi rombongan
sahabat Rasulullah yang tengah beristirahat tersebut, seraya berkata:
“Wahai sekelompok orang, pemimpin kami disengat
binatang berbisa. Kami telah mengupayakan berbagai cara untuk menyembuhkan
sakitnya, namun tidak satu pun yang bermanfaat. Apakah salah seorang dari
kalian ada yang memiliki obat?”
Salah seorang sahabat berkata: “Iya, demi Allah,
aku bisa meruqyah. Akan tetapi, demi Allah, tadi kami minta dijamu namun kalian
enggan untuk menjamu kami. Maka aku tidak akan melakukan ruqyah untuk kalian
hingga kalian bersedia memberikan imbalan kepada kami.”
Mereka pun bersepakat untuk memberikan sekawanan
kambing sebagai upah dari ruqyah yang akan dilakukan.
Sahabat itu pun pergi untuk meruqyah pemimpin
kampung tersebut. Mulailah ia meniup disertai sedikit meludah dan membaca:
“Alhamdulillah rabbil ‘alamin” (Surah Al-Fatihah). Sampai akhirnya pemimpin
tersebut seakan-akan terlepas dari ikatan yang mengekangnya. Ia pun pergi
berjalan, tidak ada lagi rasa sakit (yang membuatnya membolak-balikkan tubuhnya
di tempat tidur).
Penduduk kampung itu lalu memberikan imbalan
sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Sebagian sahabat berkata: “Bagilah
kambing itu.” Namun sahabat yang meruqyah berkata: “Jangan kita lakukan hal
itu, sampai kita menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kita
ceritakan kejadiannya, dan kita tunggu apa yang beliau perintahkan.”
Mereka pun menghadap Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, lalu mengisahkan apa yang telah terjadi. Beliau bertanya
kepada sahabat yang melakukan ruqyah: “Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah
itu bisa dibaca untuk meruqyah? Kalian benar, bagilah kambing itu dan
berikanlah bagian untukku bersama kalian.”
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya no. 5749, kitab Ath-Thibb, bab
An-Nafats fir Ruqyah. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam
Shahih-nya no. 5697 kitab As-Salam, bab Jawazu Akhdzil Ujrah ‘alar Ruqyah.
Beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari hadits
Abu Sa‘id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu diatas adalah :
- Salah
satu fadhilah Surat Al-Fatihah adalah jika dibacakan kepada orang yang
sakit (disengat binatang berbisa) maka akan sembuh dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
- Boleh
mengambil upah dari ruqyah dan untuk menunjukkan bahwa upah yang
didapatkan tersebut halal dan tidak mengandung syubhat, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sengaja meminta bagian kambing tersebut agar
hati para sahabatnya tenang.
- Seluruh
kambing itu sebenarnya milik orang yang meruqyah (sebagai hadiah), adapun
yang lainnya tidak memiliki hak, namun dibagikannya kepada teman-temannya
karena kedermawanan dan kebaikan.
Dari kisah hadits diatas kita juga bisa menarik
hikmah bahwa unsur keimanan dan keyakinan dari orang yang mengobati dan atau
dari orang yang diobati haruslah kuat. Keduanya harus yakin bahwa kesembuhan
itu mutlak berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika pengobatan Nabi diibaratkan sebagai pedang
tajam yang digunakan pada saat berperang, maka pedang (Thibbun Nabawi) tersebut
jika digunakan oleh tangan yang kuat dan terlatih (keimanan dan keyakinan).
Maka akan menjadi senjata (obat) yang sangat mematikan bagi lawan (penyakit).
Sebaliknya jika pedang tajam tersebut digunakan
oleh tangan yang kurang terlatih, maka tidak akan mematikan (tidak bisa
menyembuhkan).
Pengobatan Thibbun Nabawi harus dilakukan secara
konsisten dan dengan diagnosa dan dosis yang tepat. Tidak cukup dengan hanya
cukup sekali saja, karena proses penyembuhan terkadang tidak terjadi dalam satu
malam.
Namun dengan kadar keimanan dan keyakinan yang
tinggi semua itu BISA terjadi..
Diperlukan penelitian secara medis dan penjelasan ulama
Dalam prakteknya, pengobatan Thibbun Nabawi
seringkali menjadi salah kaprah. Hal ini dikarenakan kurangnya penjelasan yang
komprehensif terhadap fungsi dan manfaat suatu metode pengobatan Thibbun
Nabawi.
Salah satu contoh korelasi harus adanya
penelitian medis dan penjelasan ulama yaitu bisa dilihat pada hadits mengenai
khasiat habbatus sauda dan hadits mengunakan air sebagai pereda panas demam.
Haditsnya adalah sebagai berikut..
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Sesungguhnya habbatus sauda ini merupakan obat
dari semua penyakit, kecuali dari penyakit as-saam”.
Aku (yakni`Aisyah radhiallahu ‘anha) bertanya:
“Apakah as-saam itu?”
Beliau menjawab: “Kematian.” (HR. Al-Bukhari
no. 5687 dan Muslim no. 5727)
Jika kita serta merta menelan bulat-bulat hadits
diatas maka manfaat dari habbatus sauda jika langsung dikonsumsi mentah-mentah
kemungkinan tidak akan terasa manfaatnya, dan malah akan berbahaya bagi tubuh
kita.
Karena habbatus sauda juga mengandung zat kimia
aktif seperti :
- thymohydroquimone
(THQ) dan
Zat kimia aktif diatas bisa lebih berbahaya jika
mencapai dosis tertentu.
Kita percaya bahwa habbatus sauda adalah obat
segala penyakit, tetapi orang yang meramu dan melakukan pengobatannya juga
harus orang yang ahli serta memiliki pengalaman.
Begitu juga hadits mengenai air sebagai pereda
panas demam yang bisa salah kaprah jika tidak dikaji dan dijelaskan oleh para
penafsir hadits.
Hadis riwayat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu
Dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda : “Panas demam itu berasal dari didihan api neraka Jahanam.
Karena itu dinginkanlah derajat panasnya dengan air.” (HR. Muslim No.4093)
Jika tidak ditafsir dan dijelaskan oleh penafsir
hadits, maka kemungkinan besar orang yang demam malah akan bertambah parah jika
menggunakan air sebagai pereda demam.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu, ulama
sekaligus seorang dokter dari abad ke 13 menjelaskan hadits tersebut diatas
dalam kitabnya.
“Hadits ini menimbulkan banyak masalah bagi
dokter yang bodoh, yang memandangnya sabagai peniadaan pengobatan bagi penyakit
demam dan pencegahannya.
Kami akan menjelaskan -dengan daya dan kekuatan
Allah- segi dan maknanya. Maka kami katakan:
Seruan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
ada dua macam : yang umum bagi penduduk bumi dan yang khusus bagi sebagian
mereka.
Yang pertama misalnya seruan beliau pada umumnya.
Dan yang kedua seperti ucapan beliau : Janganlah
kamu menghadap kiblat dengan tahi dan air kencing. Dan jangan pula kamu
membelakanginya; akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.
Ini bukanlah seruan kepada penduduk timur atau
penduduk barat, juga bukan penduduk Irak. Tetapi ia adalah seruan kepada
pendudukk Madinah dan kawasan yang serupa dengannya seperti syiria dan yang
lain. Juga ucapan baliau : Apa yang ada diantara timur dan barat adalah kiblat.
Apabila yang demikian diketahui, maka seruan
beliau didalam hadits ini adalah khusus bagi penduduk Hijaz dan siapa yang ada
di sekitar mereka, sebab kebanyakan demam yang menyerang mereka dari jenis
demam matahari dan aksidental yang terjadi karena terik sinar matahari.
Dan ini dapat diatasi dengan air yang dingin,
baik minum atau pun mandi.” [Tibbun Nabawi hal 20, maktabah Ats-Tsaqafiy,
Koiro, Tahqiq Dr. Hamid Muhammad Ath-Thohir]
Kasus seperti hadits diatas jika dilihat dari
sisi medis/kedokteran dan penjelasan dari ulama, maka bisa digambarkan bahwa
panas demam yang dimaksud adalah sunburn atau terbakar sinar matahari.
Adapun gejala orang yang mengalami sunburn adalah
sebagai berikut :
- Kulit
menjadi kemerahan-merahan (merah jambu) dan terasa hangat atau panas jika
disentuh
- Munculnya
lepuhan kecil yang bisa pecah- Sakit kepala, panas demam, menggigil dan
kelelahan/lemas jika kondisi sudah parah
Tanda dan gejala sunburn biasanya akan
muncul dalam beberapa jam setelah kulit terkena paparan sinar matahari. Mungkin
diperlukan waktu satu atau beberapa hari untuk mengetahui tingkat sengatan
matahari tersebut.
Dalam beberapa hari, tubuh mulai menyembuhkan
dirinya sendiri dengan “mengelupas” lapisan atas kulit yang rusak. Setelah
mengelupas, kulit akan memiliki warna dan pola yang tidak teratur (sementara).
Jika merujuk kepada hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan cara pengobatan/perawatan sunburn yang cepat,
praktis, mudah dan murah sesuai sunnah bisa dengan cara :
1.
Cobalah untuk mandi, atau berteduh
ditempat yang dingin dan lembab. Cuci dengan air dingin pada bagian yang
terbakar.
2.
Dengan membenamkan handuk dalam air
dingin. Setelah itu, peras handuk dan letakkan di daerah yang terbakar.
Kemudian duduk atau berbaring di depan kipas angin atau pendingin ruangan.
Air dingin tidak hanya terasa menyegarkan, tetapi
juga penting untuk menghidrasi kulit dan mencegah dehidrasi. Tubuh biasanya
kehilangan cairan melalui kulit karena sengatan matahari.
Kiranya jelas bahwa pengobatan ala Rasul
harus berjalan bersama-sama antara ilmu dan iman. Dengan begitu
hasil yang diperoleh akan lebih maksimal dalam proses penyembuhannya serta
menjadi bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik.
“Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di
tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri – Buya
Hamka”
Wallahu a’lam bish showaab
Semoga bermanfaat